Saya tidak heran ketika mendengar berita bahwa Inggris menggelontorkan bantuan miliaran rupiah untuk penanganan gempa dan tsunami di Palu. Bahkan bantuan tersebut tidak hanya berasal dari pemerintah Inggris saja tapi juga sumbangan masyarakat Inggris hingga Ratu Elizabeth II secara pribadi.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, tentunya saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang tak terhingga dari Inggris Raya untuk membantu saudara-saudara di Palu. Jarak puluhan ribu kilometer tidak membuat rasa kemanusiaan menjadi terkikis. Alangkah miris jika kita yang berada sangat dekat sama sekali tidak tergerak untuk membantu.
Nah, lalu kenapa saya tidak heran jika Inggris mengirimkan bantuan dengan angka yang fantastis? Padahal secara geografis, jarak Indonesia Inggris bisa dibilang sangatlah jauh.

Selama saya di Inggris saya melihat langsung bagaimana masyarakat Inggris sangat terbuka, sopan dan menghargai siapa pun tanpa memandang latar belakang dan bahkan kostum. Alhamdulillah saya belum pernah mengalami diskriminasi sebagai minoritas selama di sana.
Selanjutnya, saya ingin menceritakan pengalaman-pengalaman pribadi yang menarik terkait interaksi dengan masyarakat Inggris.

Pertama, ketika saya melakukan kunjungan ke Centre of Ecology & Hydrology (CEH), semacam badan riset interdisipliner untuk lingkungan yang dimiliki oleh Inggris. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari program kuliah. Saat isitirahat makan siang, kami duduk bersama dengan para staf. Mereka sangat egaliter, tidak duduk menyendiri melainkan bergabung dengan kami yang masih mahasiswa unyu-unyu ini.

Saya memberanikan diri untuk bertanya apakah ada tempat untuk saya sholat. Tanpa ragu-ragu, salah seorang staf mengiyakan dan berjanji akan menunjukkannya setelah makan. Seusai sholat, dia mengantar saya ke sebuah ruangan kecil yang sepertinya ruangan untuk meeting lalu mempersilakan saya sholat. Tak lupa dia menunjukkan toilet untuk bersuci. Wow. Saya sungguh takjub. Tempatnya sungguh cukup jauh dari tempat kami makan, tapi dia bersedia mengantar dan menunggu lalu mengantarkan saya kembali ke ruang makan. Dalam perjalanan menuju ruang 'sholat', dia bercerita bahwa saya sungguh beuruntung punya waktu untuk kontemplasi di tengah hari. "I wish I could do that", ujarnya. Saya tersenyum dan dalam hati tidak henti bersyukur sebanyak mungkin.

Saya dan nenek masih menunggu dengan sabar. Lalu datanglah dua orang yang nampaknya teman dari si nenek. Mereka mengobrol bahwa kereta terlambat tanpa ada kepastian bla bla bla. Saya melihat papan jadwal keberangkatan, belum ada tanda-tanda kedatangan kereta saya. Waktu delay terus bertambah. Duh, saya semakin khawatir. Sepertinya sedang ada insiden di jalur kereta. Padahal kereta saya dari Shrewsbury akan berangkat tepat waktu. Saya bisa ketinggalan kereta nih!

Alhamdulillah! Saya pun duduk di kursi tengah sebuah Land Rover klasik menyusuri jalanan Shropshire menuju Shrewsbury. What an experience! Kami saling berbincang dengan menanyakan asal serta kegiatan masing-masing yang akan dilakukan di Shrewsbury. Kemudian si nenek bilang, "now your journey is turned out to be an adventure!". Ah ya! Sesampainya di Shrewsbury, saya bahkan diantar oleh dua orang teman nenek untuk menuju stasiun. Very kind, really!

Masih banyak sebenarnya, kejadian-kejadian lain yang mencerminkan kebaikan hati masyarakat Inggris. Namun dua hal di atas lah yang saya anggap paling berkesan.
Terima kasih Inggris sudah mengajarkan saya untuk mencintai dan menghargai orang lain tanpa perlu melihat latar belakang mereka. Semoga sedikit demi sedikit saya bisa menularkannya untuk orang-orang di sekitar saya saat ini.
This is my #ThrowbackSunday
No comments